POLA PELAYANAN
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bimbingan dan Konseling
Dosen
Pengampu : Dra. Sri Sami Asih, M.Kes.
Disusun
Oleh:
Satoto 1401410187
Eka Fibriani 1401410188
Rahayu 1401410189
Eka Listyowati 1401410194
Abdul Malik 1401410197
Dias Septi Indriani 1401410202
KELAS 3B FRESH
PGSD UPP TEGAL
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Makalah
yang berjudul “Pola Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah “ disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling PGSD UPP Tegal
Universitas Negeri Semarang.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan. Hal ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Untuk itulah,
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan,
demi kesempurnaan karya tulis ini.
Terlepas
dari kekurangan-kekurangan, penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.
Tegal,
17 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
.................................................................................................. i
KATA PENGANTAR
........................................................................... ii
DAFTAR ISI
......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
...................................................................... 1
A.
Latar Belakang
..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................ 1
C.
Tujuan
.................................................................................. 2
D.
Manfaat
................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3
A.
Model-model Bimbingan dan Konseling
dan Pola Dasar Bimbingan ........................................................ 3
B.
Pola–pola
Bimbingan dan Konseling.......................................... 12
C.
Pendekatan
atau Strategi Dasar ............................................... 18
D. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling .................................
19
BAB III PENUTUP
......... ........................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................. 23
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
aktivitas di sekolah, siswa memerlukan bimbingan bukan hanya sekedar
pembelajaran. Rekan siswa untuk menjadi pembimbing yang paling baik dan efektif
adalah guru kelas. Namun tentu saja untuk mendapatkan hasil siswa yang di
bimbing dengan benar. Guru mata pelajaran harus mempunyai pengetahuan tentang
pola pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Ini dimaksudkan untuk dapat
membimbing anak kearah yang lebih optimal dan tidak sembarangan.
Dengan adanya
bab mengenai pola pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah ini. Mahasiswa
jadi benar-benar paham cara memposisikan diri dalam bimbingan di sekolah pada
anak didiknya kelak. Matakuliah ini dimaksudkan membekali mahasiswa sebagai
calon guru sekolah dasar untuk mampu menyelenggarakan pembelajaran yang
membimbing dan memberikan pelayanan dasar-dasar bimbingan sesuai dengan
kewenanganya. Sehingga untuk menunjang pembekalan untuk mahasiswa itu.
Pembahasan dilakukan tentang model-model bimbingan dan konseling, pola dasar
bimbingan, dan pendekatan atau strategi dasar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Model-model bimbingan dan konseling apa yang baik
untuk bekal mahasiswa nantinya ?
2. Pola dasar bimbingan apakah yang efektif untuk
mahasiswa pelajari ?
3. Apa sajakah pola-pola bimbingan yang baik untuk
pelayanan bimbingan di institusi pendidikan ?
4. Apa saja
pendekatan dan strategi dasar guna pembekalan bagi mahasiswa ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui model-model bimbingan dan
konseling dan pola dasar bimbingan.
2.
Mengetahui
pola-pola bimbingan.
3.
Mengetahui
pendekatan atau strategi dasar.
D.
Manfaat
Penulis berharap dengan penyusunan makalah ini, pembaca dapat mengetahui pola
pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah sehingga layanan bimbingan dan
konseling dapat terlaksana dengan baik dan tujuan dari bimbingan dan konseling
itu ssendiri dapat tercapai.
BAB
II
PEMBAHASAN
POLA PELAYANAN BIMBINGAN DANKONSELING DI SEKOLAH
A.
Model-model Bimbingan dan Konseling dan Pola Dasar Bimbingan
Pelayanan
Bimbingan Konseling di lembaga pendidikan formal diselenggarakan dalam rangka
suatu program bimbingan yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang
terencana, terorganisir dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu. Suatu
program bimbingan dddann konseling dapat disusun dengan berdasarkan pada suatu
kerangka berfikir dan pola dasar pelaksanaan tertentu. Model-model bimbingan
dan konseling dan pola dasar bimbingan bermula dari gerakan bimbingan dan
konseling di Amerika yang dikembangkan di sejumlah kerangka pikir yang menjadi
pedoman dan pegangan dalam pelayanan di sekolah-sekolah. Istilah Model menurut
Shertzer dan Stone (1981) yaitu suatu konseptualisasi yang luas, bersifat
teoritis namun belum memenuhi semua persyaratan bagi suatu teori ilmiah.
Metode-metode itu dikembangkan oleh orang tertentu untuk menghadapi tantangan
yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan pendidikan sekolah di AS.
1. Frank Parsons menciptakan istilah Vocational
Guidance yang menekankan ragam jabatan bimbingan dengan menganalisis diri
sendiri, analisis terhadap bidang pekerjaan, serta memadukan keduanya dengan
berfikir rasional dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta
wawancara konseling. Menurut pandangan Parsons, baik individu maupun masyarakat
akan mendapatkan keuntungan, jika terdapat kecocokan antara cirri-ciri
kepribadian seseorang dan seluruh tuntutan bidang pekerjaan yang dipegang oleh
orang itu. Tiga faktor utama dianggap sangat menentukan dalam memilih suatu
bidang pekerjaan, yaitu analisis pada diri sendiri (kemampuan dan bakat, minat,
serta temperamen), analisis terhadap pekerjaan (kesempatan, tuntutan, dan
prospek masa depan), serta perbandingan antara hasil kedua analisis tadi untuk
menemukan kecocokan antara data tentang diri sendiri dan data tentang
bidang-bidang pekerjaan (mengadakan matching dengan berpikir rasional).
Mengingat banyak orang muda akan mengalami kesulitan dalam meninjau ketiga
factor utama itu, maka mereka membutuhkan dari seseorang yang lebih
berpengetahuan dan lebih berpengalaman dalam hal ini. meskipun pandangan Frank
Parson menunjukkan unsure kelemahan, misalnya kurang diperhitungkan pengaruh
motivasi, nilai-nilai kehidupan dan lapisan social ekonomis, namun tekanan
dalam penekanan diri dan pelayanan dari seorang ahli dalam bimbingan jabatan
merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan pelayanan bimbingan
selanjutnya. Dengan demikian, model ini menekankan ragam bimbingan, jabatan,
dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta wawancara konseling.
2. William M. Proctor, (1925) mengembangkan model
bimbingan mengenalkan dua fungsi yaitu fungsi penyaluran dan fungsi penyesuaian
menyangkut bantuan yang diberikan kepada siswa dalam memilih program studi,
aktivitas ekstra-kurikuler, bentuk rekreasi, jalur persiapan memegang sesuai
dengan kemampuan, bakat, minat dan cita-cita siswa. Fungsi penyesuaian
menyangkut bantuan yang diberikan siswa dalam melaksanakan secara konsisten dan
konsekuen pilihan yang telah mereka buat, seandainya timbul kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan beraneka tuntutan dalam lingkungan atau dalam bidang
kehidupan tertentu. Dengan demikian, model ini menekankan sifat bimbingan
perseveratif, yang mendampingi siswa dalam perkembangannya yang sedang
berlangsung, dan mengutamakan bimbingan pengumpulan data, wanwancara konseling.
Namun, kelemahan model ini terletak dalam pandangan, bahwa pelayanan bimbingan
hanya perlu diberikan pada saat siswa menghadapi masalah.
3. John M. Brewer, (1932) mengembangkan ragam
bimbingan seperti bimbingan belajar, bimbingan rekreasi, kesehatan, bimbingan
miral dan perkembangan. menerbitkan buku Educational as Guidance berpendapat
bahwa tugas pendidikan sekolah adalah mempersiapkan siswa untuk mengatur bidang
kehidupan sedemikian rupa, sehingga bermakna dan memberikan kepuasan, seperti
bidang kesehatan, bidang kehidupan keluarga, bidang pekerjaa, bidang rekreasi,
bidang perluasan pengetahuan dan bidang kehidupan bermasyarakat. Pendidian dan
bimbingan dianggap tidak jauh berbeda, karena keduanya berfungsi sebagai
bantuan kepada generasi muda dalam belajar seni hidup sebagai pribadi dan
anggota masyarakat. Melalui berbagai kegiatan pendidikan dan bimbingan siswa
memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan yang diperlukan mengatur kehidupannya
sendiri dalam berbagai aspeknya, model ini menekankan ragamnya bimbingan yang
diberikan, seperti bimbingan belajar, bimbingan rekreasi, kesehatan, moral dan
bimbingan perkembangan; maka tidak hanya mengenal ragam bimbingan jabatan.
Komponen pembirian informasi dan wawancara konseling diutamakan. Namun,
kelemahan model ini terletak dalam pandangan bahwa pendidikan dan bimbingan
tidak jauh berbeda fungsinya; dan bahwa pelayanan bimbingan untuk sebagian
besar dituangkan dalam bentuk suatu pelayanan yang berkisar pada materi
pelayanan seperti berlaku pada segala bidang studi akademik.
4. Donal G. Patterson, (1938) mengembangan metode
klinis (clinical method). Metode ini menekankan perlunya menggunakan teknik
ilmiah untuk mengenal konseli dengan lebih baik dan menentukan segala problem
yang dihadapi oleh konseli, misalnya dengan menggungakan tes psikologis dan
studi diagnostic. Yang dibutuhkan ialah data obyektif, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan memberikan gambaran tentang konseli,
lepas dari pandangan konseli tentang diri sendiri. Model ini sebenarnya menyangkut
satu komponen dalam program bimbingan saja yaitu konseling. Layanan konseling
hanya dipegang oleh tenaga bimbingan yang ahli dalam menggunakan teknik
analisis ilmiah, terutama tes psikologis. Konselor bertanggungjawab penuh atas
pilihan alat-alat diagnostic yang menghasilkan data bagi konseli tentang
dirinya sendiri. Model ini menekankan bentuk bimbingan perseceratif, serta
memberikan tekanan pada komponen bimbingan penempatan, pengumpulan data, dan
wawancara konseling. Kelemahan model ini terletak pada pelayanan bimbingan
cenderung dibatasi pada saat tertentu saja dan diberikan kepada siswa-siswi
tertentu, yaitu mereka yang menghadapi suatu masalah berat dan akan menghadap
konselor sekolah.
5. Wilson Little dan AL. Champman, (1955)
mengembangkan bimbingan yang dikenal dengan nama bimbingan perkembangan
(development guidance). Model ini menekankan perlunya memberikan bantuan kepada
semua siswa dalam aspek perkembangan siswa dalam bidang studi akademik dalam
mempersiapkan diri memangku suatu jabatan dan dalam mengolah pengalaman batin
serta pergaulan sosial. Model ini memanfaatkan bentuk pelayanan individual dan
kelompok, mengutamakan sifat bimbingan preventif dan preserveratif dan melayani
bimbingan belajar, jabatan dan bimbingan pribadi. Maka, focus perhatian
terpusat pada perkembangan optimal dari peserta didik yang sedang menuju
kekedewasaan. Perkembangan yang optimal itu dapat dicapai bila siswa mengenal
diri sendiri, menghayati seperangkat nilai kehidupan, menyadari keadaan nyata
dalam lingkungan hidupnya. Namun kemandirian pribadi dan kemampuan untuk
menimbang kondisi kehidupan dalam lingkup lingkungan kongkrit tetap diutamakan,
dengan menerima kemungkinan orang muda dapat berubah selama proses
perkembangannya. Model ini memanfaatkan bentuk pelayanan individu dan kelompok,
mengutamakan sifat bimbingan preventif dan perseveratif, serta melayani siswa
melalui bimbingan belajar, bimbingan jabatan, dan bimbingan pribadi. Keunggulan
model ini ialah sumbangan dalam pelayanan bimbingan yang diberikan oleh semua
tenaga pendidik yang bekerja sama sebagai tim yang melakukan sejumlah kegiatan
bimbingan yang dirancang untuk menunjang perkembangan optimal dari semua siswa
dalam kurun waktu yang sama. Kelemahan model ini terletak dalam kenyataan,
bahwa tidak semua anggota staf pendidik sekolah siap pakai untuk memberikan
pelayanan bimbingan. Merencanakan dan melaksanakan program bimbingan yang
sedimikian komprehensif dan meresapi seluruh program pendidikan sekolah,
menjadi usaha yang sangat kompleks yang melibatkan banyak orang, dalam
kenyataan akan sukar dilaksanakan di lapangan.
6. Kenneth B. Hoyt, (1962) yang mendeskripsikan model
bimbingan mencakup sejumlah kegiatan bimbingan (constellation) dalam rangka
melayani kebutuhan siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Model ini
menekankan pelayanan individual dan kelompok dan memungkinkan pelayanan yang
bersifat preventif, preserveratif dan remedial dan mengutamakan ragam bimbingan
belajar dan pribadi. Dalam pola ini ditekankan pada bahwa tenaga pendidik di
sekolah seharusnya berpartisipasi dalam pelaksanaan dalam program bimbingan,
bukan hanya tenaga bimbingan atau konselor sekolah saja, bahwa konselor sekolah
memikul tanggungjawab utama atas perencanaan dan pelaksanaan program bimbingan,
yang tidak hanya meliputi layanan konseling saja. Pelayanan bimbingan berhasil
kalau tujuan pelayanan bimbingan terintegrasikan pada tujuan institusional,
kurikuler, dan instruksional. Seorang konselor sekolah memiliki keahlian khusus
yang tidak dimiliki oleh tenaga-tenaga pendidik yang lain dalam hal :
a) Penggunaan beraneka teknik dan alat untuk
memperoleh data yang relevan tentang siswa dan dalam menafsirkan data itu;
b) Penyebaran ingormasi yang relevan dan tepat tentang
variasi program studi lanjutan serta variasi bidang pekerjaan;
c) Penggunaan berbagai metode konseling dan aneka
teknik konseling;
d) Diagnosis kasus khusus yang menuntut konsultasi
dengan seorang ahli lain di luar lingkungan sekolah (referral);
e) Penerapan metode dan teknik khusus untuk bimbingan
kelompok;
f) Kemampuan mengadakan riset tentang
kebutuhan-kebutuhan siswa dan melakukan studi evaluative tentang keberhasilan
program bimbingan. Konselor sekolah melayani para siswa secara langsung (kontak
langsung dengan siswa), namun juga melayani rekan tenaga pendidik yang lain
sebagai narasumber (konsultan) demi peningkatan mutu dan efektivitas program
pendidikan di sekolah. Model ini menekankan pelayanan bimbingan sebagai usaha
yang melibatkan semua tenaga pendidik, menurut fungsi dan wewenang
masing-masing; mengenal bentuk pelayanan bimbingan individual dan kelompok;
memungkinkan pelayanan bimbingan preventif, perseveratif dan remedial; dan
mengutamakan bimbingan belajar dan bimbingan pribadi. Keuntungan model ini
ialah pelayanan bimbingan tidak hanya terbatas pada layanan konseling dan
tanggungjawab untuk menunjang perkembangan siswa serta taraf kesehatan mental
tidak hanya dibebankan pada tenaga bimbingan professional saja. Kelemahan
terletak dalam anggapan, bahwa bidang bimbingan terutama diperlukan membantu siswa
dalam mengatasi beraneka kesulitan belajar dengan demikian tujuan yang khas
dari pelayanan bimbingan menjadi agak kabur.
7. Ruth Strabf, (1964) yang berpandangan menyangkut
bimbingan melalui wawancara konseling. Eklektis berarti memilih, yaitu memilih
diantara teori, metode dan teknik yang dikembangkan sesuai kebutuhan konseli
untuk diterapkan dalam mengatasi masalah tertentu. Konselor harus mengetahui
keunggulan dan kelemahan dari berbagai teori, metoden dan teknik sehingga dapat
menerapkannya secara fleksibel. Model ini menekankan bentuk pelayanan individu
dan pelayanan secara kelompok dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan
dan wawancara konseling. Pandangan ini lebih menyangkut pelayanan bimbingan
melalui wawancara konseling. Diasumsikan bahwa siswa dan mahasiswa dari waktu
kewaktu membutuhkan bantuan professional dalam memahami diri sendiri dalam
mengatasi masalah tertentu melalui bantuan itu mereka mendapat informasi
tentang diri sendiri dan realitas lingkungan, yang kiranya sulit mereka peroleh
dengan cara lain.
8. Arthur J. Jones, (1970) menekankan pelayanan
bimbingan sebagai bantuan kepada siswa dalam membuat pilihan-pilihan dan dalam
mengadakan penyesuaian diri. Bantuan itu terbatas pada masalah-masalah yang
menyangkut bidang studi akademik dan bidang pekerjaan. Bimbingan adalah
intrvensi professional bilamana siswa harus membuat pilihan diantara beraneka
alternative program studi dan bidang pekerjaan yang terbuka baginya.
Nilai-nilai kehidupan (values) menjadi factor penting dalam membuat pilihan.
Pada awal masa pendidikan menengah dan pada akhir masa itu siswa menghadapi
saat dia harus membuat setumpuk pilihan (decision making) yang berarti dimasa
yang akan datang, petugas bimbingan harus membantu siswa dalam membuat pilihan,
dengan mempertimbangkan system nilai yang dianutnya dan mengolah informai yang
tersedia tentang diri sendiri serta kesempatan-kesempatan terbuka baginya.
Supaya siswa berpikir secara rasional; karena kaum muda kurang mampu mengambil
keputusan penting, maka dibutuhkan bantuan seorang ahli bimbingan yang bekerja
sebagai tenaga tetap di lembaga pendidikan sekola. Model ini juga menekankan
bentuk pelayanan individu mengutamakan ragam bimbingan belajar serta bimbingan
jabatan dan memberi tekanan pada komponen bimbingan penempatan pengumpulan data
serta wawancara konseling. Kelemahan yang paling mencolok dalam model ini ialah
pembatasan pelayanan bimbingan pada saat-saat tertentu saja, bila siswa harus
membuat suatu pilihan yang menentukan jalan kehidupannya.
9. Chris D. Kehas, (1970) mengembangkan guidance as
personal development. Model ini merumuskan tujuan pendidikan di sekolah,
memberikan tekanan pada perkembangan kepribadian peserta didik, tetapi di
lapangan hanya aspek intelektual yang diperhatikan. Dengan demikian tenaga-tenaga
bimbingan hanyalah berfungsi dalam rangka meningkatkan efektivitas proses
belajar mengajar di kelas. Dengan kata lain, bimbingan adalah usaha yang
menunjang bidang pengajaran saja (amcillary service to make instruction more
effective). Kehas memperjuangkan supaya pendidikan sekolah dipandang sebagai
usaha mendampingi siswa dalam belajar. Belajar tidak hanya mencakup belajar di
bidang akademik, tetapi tentand diri sendiri dan lingkungan hidup. tenaga
pendidik tidak hanya guru, melainkan masing-masing tenaga pendidik bertugas
mendampingi siswa dalam aspek perkembangan dan dimensi belajar tertentu. Dengan
demikian, siswa mempunyai relasi dengan pihak tenaga pendidik berbeda-beda
sifat, misalnya guru sebagai pendamping dalam belajar akademik, dan tenaga
bimbingan sebagai pendamping dalam belajar tentang kepribadiannya sendiri.
Konselor sekolah berfokus pada perkembangan kepribadian siswa dalam
keseluruhannya (personal development). Maka, tenaga bimbingan bukan berfungsi
sebagai asisten tenaga pengajar, melainkan mempunyai peranannya sendiri. Tenaga
pendidik tidak berada di bawah yang lain, melainkan saling melengkapi dalam
rangka bekerja sama menurut fungsinya masing-masing. Model ini menekankan
bentuk, jenis, atau ragam bimbingan tertentu, dan tidak mengutarakan komponen
bimbingan tertentu, melainkan mengeksplisitkan fungsi dasar bimbingan di
sekolah, yaitu proses membantu orang-perorangan untuk memahami diri sendiri dan
lingkungan hidupnya. Keunggulan model ialah menciptakan kemungkinan untuk
merumuskan secara spesifik apa peranan guru (tenaga pengajar) dan apa peranan
konselor sekolah terhadap belajar siswa. Kelemahan model ini menyangkut
hubungan kerja sama antara tenaga pengajar dan tenaga bimbingan yang kerap
belum jelas sebaiknya diwujudkan; disamping itu, timbul bahaya bahwa anak didik
akan dibelah-belah atas sekian bagian, dimana guru bertanggung jawab atas
perkembangan intelektual siswa saja dan konselor sekolah akan bertanggungjawab
atas aspek-aspek perkembangan yang lain.
10. Ralp Moser dan Norman A. Srinthall, (1971)
mengajukan usul supaya di sekolah diberi pendidikan psikologis yang dirancang
untuk menunjang perkembangan kepribadian para siswa dengan mengutamakan belajar
dinamik-efektif yang menyangkut kepribadian nilai-nilai hidup dan sikap-sikap.
Pelayanan bimbingan tidak hanyadibatasi pada mereka yang menghadap konselor
sekolah, tetapi sampai pada semua siswa yang mengikuti pendidikan psikologis.
Ini merupakan keunggulan modelnya. Namun, merencanakan dan melaksanakan suatu
program kurikuler menuntut konselor menguasai metodik mengembangkan dan
mengajarkan suatu bidang, termasuk penentuan tujuan instruksional, mengurutkan
topic-topik (sequence), prosedur akan membuat siswa belajar aktif (CBSA), dan
pilihan bahan yang relevan. Persyaratan ini kiranya hanya dapat dipenuhi, bila
konselor sekolah khusus disiapkan untuk itu melalui pendidikan formal di
perguruan tinggi.
11. Julius Menacker, (1976) mengembankan model
bimbingan yang mengusahakan penganggulangan segala gejala pemberontakan yang
tampak dalalm tingkah laku para siswa di sekolah yang terletak dalam
daerah/bagian kumuh di kota besar. Daerah kumuh disini berarti daerah di mana
kemiskinan, kejahatan, pelanggaran hukum, kenakalan remaja, dan penggunaan obat
bius merajalela. Model ini menekankan usaha mengadakan perubahan dalam
lingkungan hidup yang menghambat perkembangan yang optimal bagi siswa. Dalam
pelayanan bimbingan tradisional focus perhatian terpusat pada siswa sendiri
yang harus mengadakan perubahan dalam diri sendiri, dalam activist guidance
focus perhatian terdapat pula pada lingkungan hidup siswa, yaitu bagaimana
manipulasi dari lingkungan dapat menguntungkan perkembangan siswa. Maka,
konselor sekolah bersama dengan siswa mengidentifikasi segala kondisi hidup
negative yang ditimbulkan oleh lingkungan hidup, dan merencankan setumpuk
tindakan konkret untuk mengubah lingkungan itu sehingga terciptakan kondisi
positif, termasuk mengubah lingkungan sekolah bila hal itu dianggap perlu.
Keunggulan model ini ialah pandangan tingkah laku seseorang sebaiknya dilihat
sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan hidupnya. Konselor
sekolah yang berpegang pada pola asli memanfaatkan semua sumber dan sarana
dalam lingkungan masyarakat setempat, yang dapat mempengaruhi suasana hidup di suatu
daerah. Kelemahan model ini ialah kenyataan, bahwa aksi-aksi perubahan social
mudah menimbulkan berbagai ketegangan, bahkan pun sampai menciptakan konflik
dengan tenaga-tenaga pendidik yang lain, karena lingkungan sekolah itu sendiri
tidak akan luput dari aksi demi perubahan suasana dan kurikulum pengajaran.
Model-model berpikir yang diuraikan di atas ternyata
belum dioperasionalkan di lapangan dan dituangkan dalam kerangka program
bimbingan. Kecuali, model yang dideskripsikan oleh Hoyt, yaitu Constellation of
Services. Kenyataan ini berarti bahwa masih terdapat jurang yang lebar antara
pemikiran teoritis dan praktek pelaksanaan di lapangan. Alasannya adalah bahwa
pelayanan bimbingan di sekolah berkembang menurut kebutuhan setempat, dan baru
dibentuk konseptualisasi setelah praktek perkembangan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan serta memberikan landasan teoritis
pada kegiatan-kegiatan bimbingan sudah mulai dilaksanakan. Pemikiran teoretis
(theory building) baru menyusul sesudah pelayanan bimbingan mulai berjalan,
bahwa pelayanan di lapangan tidak bermakna bagi perkembangan siswa, namun
pelayanan bimbingan akan terhambat dalam perkembangannya, dan mendapat banyak
sorotan negative karena lemah dalam hal refleksi teoretis.
Kehas berpandangan sejumlah faktor yang menghambat
konseptualisasi dan pertanggungjawaban teoretos dari bimbingan di
sekolah-sekolah di Amerika yaitu:
1. Organisasi profesional di bidang bimbingan lebih
banyak memperhatikan layanan konseling daripada layanan bimbingan pada umumnya.
2. Perbedaan konseptual antara mengajar dan membimbing
masih kabur.
3. Pelayanan bimbingan di sekolah lebih dikaitkan
dengan bidang administrasi sekolah, sehingga fungsi khas dari bimbingan tinggal
samar-samar saja.
4. Pemikirannya teoretis.
5. Terdapat anggapan.
Dikatakan
di Indonesia masih terdapat suatu jurang yang cukup lebar antara praktek
pelayanan bimbingan di lembaga sekolah dan pengembangan andalan landasan
teoritis, yang sesuai dengan kondisi serta situasi pendidikan sekolah di suatu
negara berkembang. Namun, telah diterapkan pola Constellation of Services
sebagaimana diuraikan di atas, meskipun pola tidak luput dari berbagai
kelemahan dalam konseptualisasi.
B. Pola –
pola Bimbingan dan Konseling
Yang
dimaksud dengan pola dasar pelaksanaan bimbingan ialah suatu asas pokok untuk
mengatur penyebaran pelayanan bimbingan di sekolah, dengan mempertimbangkan
kegiatan-kegiatan bimbingan apa yang akan diadakan dan rangkaian kegiatan itu
dilaksankan oleh siapa serta diberikan kepada siapa. Pola dasar ini lebih
bersifat praktis, karena langsung berkaitan dengan penyusunan program
bimbingan. Jadi suatu pola dasar melandasi perencanaan dan pelaksanaan suatu
program bimbingan di sekolah. pola dasar tertentu dapat merupakan konkretisasi
yang lebih bersifat praktis dari suatu model atau kerangka berpikir tertentu.
Namun, dimungkinkan bahwa suatu pola dasar menampung lebih dari satu model,
suatu pola dasar tertentu, sekali mulai diterapkan, mempunyai dampak terhadap
pola organisasi dan administrasi kegiatan bimbingan di sekolah. jadi, pola
dasar pelaksanaan bimbingan sedikit banyak berdiri di antara model bimbingan
dan pola organisatoris bimbingan.
Model-model
bimbingan dan konseling dan pola dasar bimbingan bermula dari gerakan bimbingan
dan konseling di Amerika yang dikembangkan di sejumlah kerangka pikir yang
menjadi pedoman dan pegangan dalam pelayanan di sekolah-sekolah. Istilah Model
menurut Shertzer dan Stone (1981) yaitu suatu konseptualisasi yang luas, bersifat
teoritis namun belum memenuhi semua persyaratan bagi suatu teori ilmiah.
Model-model itu dikembangkan oleh orang tertentu untuk menghadapi tantangan
yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan pendidikan sekolah di AS.
Menurut hasil analisis Edward C Glanz dalam bukunya Foundations and Principles
of Guidance, dalam sejarah perkembangan pelayanan bimbingan di
institusi-institusi pendidikan muncul empat macam pola dasar yang diberi nama
pola generalis (generalism), pola spesialis ( specialism), pola kulikuler
(curuicular design), dan pola relasi-relasi manusiawi serta kesehatan mental
(human relations and mental health), yakni :
1. Pola Generalis berasaskan keyakinan, bahwa corak
pendidikan dalam suatu institusi pendidikan berpengaruh terhadap kuantitas
usaha belajar siswa, dan seluruh staff pendidik dapat menyumbang pada
perkembangan kepribadian masing- masing siswa. Pelayanan bimbingan melibatkan
banyak tenaga pendidik. Tenaga pengajar rutin berhubungan dengan para siswa.
Mereka meyisipkan aneka unsure bimbingan dalam pelajaran, dapat memberikan
bimbingan kelompok, bahkan dapat menyelenggarakan wawancara konseling. Terdapat
pula guru-konselor, yaitu tenaga pengajar yang sebagian waktunya khusus
diperuntukkan bagi pelayanan bimbingan. Koordinasi seluruh kegiatan bimbingan
diserahkan pada guru-konselor atau tenaga ahli bimbingan. Sumber tenaga ahli
bimbingan anak-anak biasa, seperti Reality Therapy. Ada pendekatan yang dinilai
terlalu kompleks untuk kebanyakan siswa dan mahasiswa pada masa sekarang,
seperti sistematika yang dikembangkan oleh Carkhuff. Semua teori cenderung
menuntut proses konseling yang agak lama sampai lama sekali, padahal proses
konseling di suatu institusi pendidikan sulit untuk dibina selama beberapa
bulan sampai satu tahun, karena waktu konselor dan konseli terbatas. Beberapa
teori lebih mengarah ke Psikoterapi, yang diterapkan terhadap orang-orang yang
mengalami gangguan kesehatan mental yang serius, seperti Psikoanalisis dan
Psikologi Individual. Pembahasan mengikuti atas tiga kelompok pendekatan, yaitu
pendekatan afektif, pendekatan kognitif dan pendekatan behavioristik, yakni :
Pendekatan
Afektif
Psikoanalisis (Psychoanalysis) bersumber pada
sederetan pandangan Sigmund Freud dalam abad 20. Sesuai dengan perkembangan
ilmu psikologi, para ahli memodifikasi menjadi Noe-Freudians, antara lain Carl
Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih dan Harry Stack
Sullivan. Terapi psikoanalitis membantu individu untuk mengatasi ketegangan
psikis bersumber rasa cemas dan rasa terancam yang berlebihan (anxiety).
Perasaan terpendam terhadap orang tertentu serta segala konflik yang dialami
dalam berkomunikasi dengan pihak/orang itu, selama proses terapi dihidupkan
kembali dan dilimpahkan pada konselor sebagai wakil dari pihak/orang itu
(transference). Perasaan, pertentangan dan konflik yang sengaja ditimbulkan
itu, kemudian diolah kembali dalam kehidupannya sampai sekarang. Kesadaran ini
memungkinkan suatu perubahan keadaan dalam batin konseli dan dalam cara
mengatur kehidupannya sendiri
1.1 Psikologi Individual
Aliran Psikologi Individual (Individual Psychology)
dipelopori Alfred Adler dan dikembangkan sebagai sistematika terapi Rudolf
Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, dikenal dengan Adlerian Conselling. Perhatian
utama diberikan pada kebutuhan seorang untuk menempatkan diri dalam kelompol
sosialnya. Tiga konsep corak terapi ini adalah rasa rendah diri (inferiority
feeling), usaha untuk mencapai keunggulan (striving for superiority), dan gaya
hidup perseorangan (a person’s lifestyle). Manusia kerap mengalami rendah diri
karena berbagai kelamahan dan kekurangan yang mereka alami, dan berusaha untuk
menghilangkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencapai
kompensasi terhadap rasa rendah diri, dengan mengejar kesempurnaan dan
keunggulan dalam satu atau beberapa hal. Dengan demikian, manusia bermotivasi
untuk menguasai siatusi hidupnya, sehingga puas dapat menunjukkan
keunggulannya, paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Selama proses terapi
konselor mengumpulkan informasi kehidupan konseli di masa sekarang dan di masa
lampau. Dari semua informasi konselor menggali perasaan rendah diri pada
konseli yang bertahan sampai sekarang dan menemukan segala usahanya menutupi
perasaannya melalui kompensasi, sehingga mulai tampak gaya hidup perseorangan.
Selanjutnya konselor membantu konseli mengembangkan tujuan lebih membahagiakan
dan merancang gaya hidup yang lebih konstruktif.
1.2 Terapi Gestalt
Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan
Frederick Perls. Konselor membantu konseli menghayati diri sendiri dalam
situasi kehidupannya yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakan
sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup.
keempat konsep pokok adalah penghayatan diri sendiri dalam situasi hidup yang
konkret (awareness), tanggungjawab perseorangan (personal responsibility),
keutuhan dan kebulatan kepribadian seseorang (unity of the person), dan
penyadaran akan berbagai halangan yang menghambat penghayatan diri sendiri
(blocked awareness). Konseli mengusahakan keterpaduan dan integrasi dari
berpikir, berperasaan, dan berperilaku, yang mencakup semua pengalaman nyata
pada saat sekarang. Konseli tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan
kesukaran yang dihadapi. Maka, konselor mendesak konseli menggali macam-macam
perasaan yang belum terungkap secara jujur dan terbuka, seperti rasa jengkel,
sakit hati, rasa dukacita dan sedih, rasa bersalah, rasa berdosa, kesal, atau
diasingkan. Dengan bantuan konselor, konseli lalu mulai membuka jalan buntu
dengan meninggalkan berbagai siasat mendapatkan simpati orang lain, dan mulai
mengambil peranan lebih aktif mengatur kehidupannya sendiri. Terapi Gestalt
membuat konseli merasa frustasi (berada di jalan buntu), tetapi frustasi itu
dipandang sebagai landasan bagi usaha baru yang lebih konstruktif. Dengan kata
lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cermin bagi diri sendiri
pula.
1.3 Konseling Eksistensial
Aliran konseling Eksistensial (Existential Counseling)
menenkankan implikasi dari falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan
manusia di dunia yang mencakup kemampuan kesadaran diri; kebebasan untuk
memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri; tanggungjawab pribadi; kecemasan
sebagai unsure dasar dalam kehidupan batin; usaha untuk menemukan makna dari
kehidupan manusia; keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain; kematian;
serta kecenderungan dasar mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Konseli
akan belajar dari konselor, yang mengkomunikasikan sikap hidup penuh rasa
dedikasi terhadap tuntutan hidup sebagai tanggungjawab pribadi. Konseli
diharapkan mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantantang dengan
menempatkannya dalam kerangka sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai
manusia, yang menerima relaita hidup sebagaimana adanya dan memperkaya diri
sendiri melalui penghayatan makna kehidupannya. Konseli yang melibatkan diri
sepenuhnya dalam hidup secara otentik (commitment to life), menentukan apa yang
sebaiknya dilakukannya pada saat tertentu dalam kehidupannya.
Pendekatan
Kognitif
a. Analisis Transaksional
Analisis transaksional (Transactional Analysis)
menekankan pola interaksi antara orang-orang, baik yang verbal maupun nonverbal
(transactions). Diterapkan dalam konseling individual, tetapi bermanfaat dalam
konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan langsung mengamati pola
interaksi antar seluruh anggota kelompok. Tujuannya supaya konseli menjadi
sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi
dengan orang lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi social
yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dengan menempatkan diri dalam keadaan
diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat. Thomas A. Harris
mendeskripsikan empat sikap hidup terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu :
(1) I am okay-you are okay: sikap hidup seseorang yang
mampu mengatur dirinya dengan baik dan membina kontak social yang memuaskan.
(2) I am okau-you are not okay: sikap hidup seseorang
yang melimpahkan kesukarannya sendiri pada orang lain dan menyalahkan orang
lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain.
(3) I am not okay-you are okay: sikap hidup seseorang
yang merasa depresif dan takberdaya, disbanding dengan orang lain. Dia
cenderung mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk mendapakatkan
pengakuan dan simpati.
(4) I am not okay-you are not okay: sikap hidup
seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya
dibawa oleh pasang surut kehidupan.
b. Sistematika Carkhuff
Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi,
pemahaman diri dan bertindak, didahului suatu fase persiapan, di mana konseli
melibatkan diri dalam proses konseling (involment)
Pendekatan
Behavioristik
a. Reality Therapy
Reality Therapy ialah suatu standar atau patokan
obyektif, yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas
atau kenyataan berwujud suatu realitas praktis, realitas social atau realitas
moral. Disoroti pada tingkah lakunya yang nyata, dievaluasi menurut kesesuaian
atau ketidaksesuaianya dengan realitas yang ada. Dengan demikian, proses
konseling bagi konseli menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan di
mana perlu menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang
tepat. Sampai taraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang
mengajarkan tata cara bertindak secara tanggungjawab, memberika pujian bilamana
konseli mulai bertindak secara tepat, dan mencela bila konseli tidak bertindak
secara bertanggungjawab. Konselor menolak untuk membela diri bila konseli tidak
tanggungjawab itu, apalagi menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau
situasi dan kondisi.
b. Multimodal Counseling
Pendekatan konseling memadukan berbagai unsure (multi)
dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal counseling), sehingga tercipta
sistematika baru. Selama proses konselling perhatian konselor terpusatkan pada
tujuh factor atau komponen dalam pola kehidupan konseli, yaitu perilaku nyata (behavior),
alam perasaan (affect), proses persepsi melalui alat indera (sensation), konsep
diri dalam berbagai aspeknya (imagery), keyakinan dan nilai-nilai dasar sebagai
dalam berpikir dan menentukan sikap (cognition), hubungan antarpribadi dengan
orang yang dekat (interpersonal relationships), dan keadaan fisik serta
kesehatan jasmani (biological functioning). Setiap komponen atau mode ditinjau
dan dibahas untuk mengumpulkan data yang relevan.
2. Pola Spesialis, bahwa pelayanan bimbingan di
institusi pendidikan harus ditangani oleh ahli- ahli bimbingan yang masing-
masing berkemampuan khusus dalam cara pelayanan bimbingan dan konseling.
3. Pola Kurikuler, bahwa pelayanan bimbingan dan
konseling di institusi pendidikan diusulkan dimasukkan dalam kurikulum pengajaran
khusus dalam rangka suatu kursus bimbingan.
4. Pola Relasi- Relasi Manusia dan Kesehatan Mental,
bahwa orang akan lebih hidup bahagia apabila dapat menjaga kesehatan mentalnya
dan membina hubungan baik dengan orang lain.
C.
Pendekatan atau Strategi Dasar
Seorang
ahli bernama Robert H. Mathewson (1962), berhasil membedakan tujuh pendekatan
atau strategi dasar yang masing-masing pendekatan meupakan kontinum yang
bipolar. Ketujuh strategi dasar itu adalah sebagai berikut :
1. Edukatif versus Direktif, yaitu satu sisi pelayanan
bimbingan dipandang sebagai pengalaman belajar bagin siswa yang membantu mereka
untuk menentukan sendiri pilihan-pilihannya.
2. Komulatif versus Pelayanan, yaitu satu sisi satu
pelayanan bimbingan dilihat sebagai progam yang kontinyu dan
bersambung-sambung.
3. Evaluasi diri versus oleh orang lain, yaitu satu
sisi satu pelayanan bimbingan dirancang untuk membantu siswa menemukan diri dan
evaluasi diri atas prakarsa sendiri.
4. Kebutuhan Individu versus Kebutuhan Lingkungan,
yaitu disisi satu pelayanan bimbingan menekankan supaya kebutuhan-kebutuhan
masing-masing siswa dipenuhi.
5. Penilaian Subyektif versus Penilaian Obyektif,
yaitu disisi satu pelayanan bimbingan diarahkan ke penghayatan dan penafsiran
siswa sendiri terhadap dirinya sendiri serta lingkungan hidupnya, disisi yang
lain menitikberatkan pengumpulan data siswa dari sumber di luar siswa sendiri.
6. Komprehensif versus Berfokus pada satu aspek atau
satu bidang saja, yaitu di satu sisi pelayanan bimbingan diprogamkan sedemikian
rupa sehingga semua tantangan dan permasalahan di berbagai bidang kehidupan
siswa tercakup di dalamnya.
7. Koordinatif versus Spesialistik, yaitu di satu sisi
ditangani oleh sejumlah tenaga melakukan kerjasama secara koordinatif dalam
memberikan bantuan dan berkedudukan sama dan harus bekerjasama erat dalam
mendeskripsikan ciri-ciri suatu program bimbingan yang dilaksanakan pada
institusi pendidikan, di sisi yang lain ditangani secara spesifik berdasarkan
keahlian.
Pola dasar bimbingan
dan konseling yang saat ini dilaksanakan di lingkungan pendidikan tingkat SMP
dan SMA digambarkan dalam matriks di bawah ini:
No
|
Pengetahuan Wawasan BK
|
Bidang Bimbingan
|
Jenis Layanan
|
Kegiatan Pendukung
|
1.
|
Konsep Dasar BK
|
Bimb. Pribadi
|
Layanan Orientasi
|
Instrumentasi
|
2.
|
Fungsi BK
|
Bimb. Sosial
|
Layanan Informasi
|
Himpunan Data
|
3.
|
Landasan BK
|
Bimb. Belajar
|
Layanan Penempatan
|
Konferensi Kasus
|
4.
|
Asas Bk
|
Bimb. Karier
|
Layanan Pembelajaran
|
Kunjungan Rumah
|
5.
|
Prinsip-prinsip BK
|
Layanan Konseling Perorangan
|
Alih Tangan
|
|
6.
|
Layanan Bimbingan Kelompok
|
|||
7.
|
Layanan Konseling Kelompok
|
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Program Bimbingan dan Konseling
disekolah disusun dan diselenggarakan atas dasar kerangka berpikir dan pola
dasar pelaksanaan tertentu.Secara teoritis ada berbagai model Bimbingan mulai
dari Frank Parsons sampai Julius Menacker. Dimana disitu terdapat berbagai
variasi yang tentu memiliki model tersendiri dalam melayani dan membantu
kebutuhan siswa.jadi dapat dikatakan bimbingan itu bersifat luwes atau
fleksibel dan tidak kaku sebab ada spesifikasinya dalam menaungi masalah atau
bidang tertentu. Model-model bimbingan dan konseling dan pola dasar bimbingan
dipakai sebagai pedoman dan pegangan dalam pelayanan bimbingan di sekolah-sekolah.
Sedangkan
untuk pola – pola bimbingan menurut analisis Edward C. glanz, (1964) :
1.
Pola generalis
2.
Pola Spesialis
3.
Pola Kurikuler
4.
Pola Relasi-relasi Manusia dan Kesehatan Mental
Pendekatan
atau Strategi dasar
•
Edukatif versus Direktif
•
Kumulatif versus Pelayanan
•
Evaluasi diri versus orang lain
•
Kebutuhan Individu versus Kebutuhan Lingkungan
•
Penilaian Subyektif versus penilaian Obyektif
•
Komperehensif versus berfokus pada satu aspek atau satu bidang saja
•
Koordinatif versus Spesialistik
SARAN
Pola dan pelayanan bimbingan di
sekolah sekolah memeliki peran yang sangat penting guna membina kepribadian
mental siswa oleh karena itu kita sebagai calon pendidik hendaklah memahami
pola dan pelayanan dari bimbingan dan konseling itu sendiri sebab nantinya kita
jangan sampai salah menerapkan pola atau strategi dasar yang digunakan dalam
bimbingan dan konseling. Sebab masalah, perkembangan serta karateristik
seseorang itu berbeda- beda.
Mahasiswa sebagai calon pendidik
harus benar-benar mengerti, memahami dan mengaplikasikan dengan baik pembahasan
tentang model-model pelayanan bimbingan dan konseling, pola dasar bimbingan,
pola-pola bimbingan, dan pendekatan atau strategi dasar pada bimbingan dan
konseling. Dengan demikian, mahasiswa nantinya pada saat menjadi pendidik akan
dapat menciptakan generasi muda dengan kebenaran dalam sikap dan perilaku yang
juga akan berdampak bagi negara yaitu negara Indonesia mempunyai sumber daya
manusia yang kompetitif di dunia internasional dan memajukan Indonesia dalam
berbagai bidang. Mahasiswa sebagai calon pendidik harus benar-benar mengerti,
memahami dan mengaplikasikan dengan baik pembahasan tentang model-model
pelayanan bimbingan dan konseling, pola dasar bimbingan, pola-pola bimbingan,
dan pendekatan atau strategi dasar pada bimbingan dan konseling. Dengan
demikian, mahasiswa nantinya pada saat menjadi pendidik akan dapat menciptakan
generasi muda dengan kebenaran dalam sikap dan perilaku yang juga akan
berdampak bagi negara yaitu negara Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang
kompetitif di dunia internasional dan memajukan Indonesia dalam berbagai
bidang.
DAFTAR
PUSTAKA
http://insanubari.blogspot.com/2011/04/pola-pelayanan-bimbingan-dan-konselin.html diunduh pada tanggal 17 Oktober pukul 19.46
http://animenekoi.blogspot.com/2011/06/model-dan-pola-pelayanan-bimbingan-dan.html
diunduh
pada tanggal 17 Oktober pukul 19:48
Mugiarso,
Heru. 2009. Bimbingan Konseling.
Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Trus berkreasi wa,,,,, Dahsyat!!!
BalasHapusThank's Infonya Bray .. !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id